Inovasi
Kursi Roda Kendali Otak Ciptaan Mahasiswa Binus

Jakarta, KilasKampus – Setelah heboh dengan “manusia besi” dari Bali yang berhasil membuat lengan robot, kembali dikejutkan lagi dua mahasiswa Universitas Nusantara (Binus) yang mampu membuat kursi roda yang dapat bergerak melalui sinyal otak. Kedua mahasiswa tersebut duduk di semester tujuh, Jennifer Santoso (21) dan Ivan Halim Parmonangan (21). Mereka membuat kursi roda canggih sebagai proyek skripsi.

Mereka berpendapat, apabila penyandang disabilitas tetapi otak dan pikirannya masih sehat maka masih bisa menggunakan kursi roda canggih ciptaanya. Hal ini yang mendorong mereka memunculkan ide untuk mengembangkan kursi roda yang mampu dikendalikan oleh otak. Menurut Jennifer, banyak orang yang tangannya patah, cacat seluruh tubuh, lumpuh dari leher ke bawah tetapi otak dan pikirannya masih sehat sehingga kami ingin membuat sistem yang dapat menolong mereka.

Selain kursi roda perangkat yang mendukungnya adalah Electro Encephalo Graph (EEG) dan neuroheadset. Alat ini mampu menangkap gelombang listrik otak dan gelombang itu diperkuat dalam skala ribuan kali yang dihubungkan dengan aplikasi perangkat lunak (software) yang dibuat dalam CPU. Aplikasi inilah yang dapat mengolah sinyal yang diterima dari neuroheadset setelah difilter untuk memilih gelombang alfa dan gelombang beta saja, kemudian ditransformasikan dalam bentuk algoritma “Fast Fourier Transformation” lalu diteruskan sebagai masukan (input) ke mesin. Aplikasi akan meneruskan sinyal yang sedang diproses ke “Arduino Uno”, yakni papan mikrokontroler yang diteruskan ke motor driver sebagai penggerak motor listrik DC dan menggunakan sumber listrik DC.

Sistem kerja kursi roda canggih ini melalui dua sumber data, yakni data gyroskop untuk menangkap sensor gerak bagi orang yang masih bisa menggerakkan leher, dan data Electro Encephalo Graph (EEG) melalui  sinyal otak bagi mereka yang lehernya tidak bisa digerakkan. 

Pengguna pertama kali harus merekam respon pengguna melalui aplikasi software. Respon yang dimaksud adalah respon untuk bergerak maju arah ke kiri dan ke kanan, memutar ke kiri dan ke kanan. Ketika dilakukan peragaan oleh Ivan, ia tampak fokus untuk menggerakkan kursi roda itu maju tanpa menyentuh rodanya. Kursinya mampu berjalan tanpa menyentuh roda dan cukup dengan kedipan matanya kursi roda bisa berhenti. “Apabila tertidur atau penggunanya lagi panik otomatis kursinya berhenti,” tambah Jennifer. 

Menurut pembimbing mereka, Dr. Widodo Budiharto, S.Si, M.Kom, dua mahasiswanya mengembangkan kursi roda yang digerakkan oleh sinyal otak EEG dan neuroheadset. “Soal pembacaan pikiran secara teoritis, otak memancarkan sinyal yang namanya electro encephalo graph. Bagaimana sinyal itu tergantung dari apa yang dipkirkan,” demikian kata dosen pembmbing yang juga masuk dalam 15 besar Dosen Berprestasi Nasional Penelitian yang dibiayai oleh Toray Science and Technology Research Grant dari Jepang, di kampus Binus Jl KH Syahdan Palmerah, Jakarta Barat, Jumad (22/1).

Sinyal otak berupa gelombang listrik sebesar satu mikro volt atau kurang yang dipancarkan dari kulit kepala. Besar sinyal otak itu tergantung pada tipe kulit dan ketebalan rambut. Untuk menangkap sinyal EEG maka dibutuhkan sensor EEG. Dalam aplikasinya, bisa diterapkan dalam berbagai aplikasi seperti game atau menggerakkan kursi roda untuk maju – mundur. “Sensor EEG ini yang dapat membaca pikiran manusia,” jelas Widodo. Pengembangan kursi roda BNW, kemudian kursi roda dengan kendali otak sensor EEG yang menggunakan neuroheadset. Alat neuroheadset dibeli untuk kepentingan riset anak didiknya merek Emotiv Epoc buatan Australia. Harga alat ini sekitar Rp.1,5 juta. “Neuroheadset fungsinya untuk menguatkan sinyal otak dalam orde robuan kali”, tambahnya.

Sinyal otak satu mikro volt atau kurang tidak bisa menggerakkan benda, sinyal ini diperbesar sampai 100 ribu kali hingga lima volt. Sinyal sebesar lima volt ini yang menjadi input data dalam aplikasi software untuk difiltrasi sehingga dapat mengerakkan motor. Menurut Widodo, ilmu EEG dan neuroheadset bukan hal yang baru, sejak tahun 1929 seorang ilmuwan berhasil menunjukkan EEG seorang anak yang dipublikasi secara ilmiah. Begitu pula neuroheadset yang bisa dibuat sendiri. “Kalau dibuat sendiri menghabiskan biaya sekitar lima ratus ribu rupiah tetapi kalau dibuat sendiri kendalanya selalu kurang baik timbulnya noise, yakni sinyal-sinyal otak yang berisik karena kita belum mampu membuat filter sinyal-sinyal otak mana yang penting dan dibutuhkan,” tambahnya. (bd/detikNews/detikcom)

About the author

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × two =

CONTACT US

[email protected]

Jln. Perumahan Kayu Manis Residence No.D8. Kelurahan Kayu Manis. Kota Bogor 16169